Sabtu, 11 Agustus 2012

Ada Pelajaran Disini Pemulung Itu Memilih Bayar Zakat daripada Beli Baju Lebaran

Pemulung Itu Memilih Bayar Zakat
daripada Beli Baju Lebaran

“Daripada membeli baju baru, lebih
baik uangnya saya pakai bayar zakat
aja mas, masih banyak orang yang
hidupnya lebih susah dari saya,” jelas
pasangan pemulung ini
Hidayatullah.com— Meski bulan
Ramadhan telah dibuka pintu-pintu
surga dan ditutupnya pintu-pintu
neraka, toh hasil didikan syetan tetap
melekat pada perilaku banyak orang.
Jum'at (10/08/2012) dini hari, di saat
memasuki 10 hari terakhir di mana
malam Lailatur Qadar menjanjikan
banyak kemuliaan dan ampunan,
justru banyak orang menghabiskan
waktunya dengan sia-sia.
Perilaku hedonis pemuda
metropolitan masih terlihat. Sebut
saja; balapan motor liar, nongkrong
sampai pagi, berpacaran di atas
motor di pojok-pojok kota di malam
gelap juga masih bisa ditemukan.
Yang menarik, sepanjang jalur mulai
dari depan Lembaga Pemasyarakatan
(LP) Cipinang hingga Stasiun Senen
terdapat pemandangan berbeda.
Mereka itulah yang sering disebut
“manusia gerobak”.
Siapa mereka? Mereka adalah orang-
orang yang menghabiskan hidupnya
dengan mencari barang bekas
(memulung). Di saat orang tengah
terlelap di malam hari, mereka justru
baru keluar setelah matahari
beristirahat dari tugasnya menyinari
bumi.
Seperti Ade Sulaiman (32), seorang
kepala rumah tangga telah melakoni
ini hidup ini selama 5 tahun lebih.
Bersama sang Istri, Ernawati (37)
mereka berdua menjalani
pertarungan hidup bersama satu
gerobak berwarna merah. Sekalipun
menarik gerobak, orangtua yang
sudah memiliki 4 orang anak ini tidak
pernah meninggalkan ibadah
puasanya selama Ramadhan.
“Alhamdulillah mas, puasa jalan
terus. Meski penghasilan segini aja
tapi ibadah puasa jalan terus,” jelas
Erna kepada hidayatullah.com .
Berbeda dengan yang lain. Bagi
mereka, pekerja memulung di bulan
Ramadhan justru sepi. Bahkan harga-
harga barang bekas di bandar
pemulung turun.Harga kardus
contohnya, biasanya Rp. 1600/kg, di
bulan ramadhan ini turun menjadi
Rp.1000/kg. Gelas plastik yang
biasanya Rp.7000/kg di bulan
Ramadhan menjadi Rp.4000/kg.
Tapi bagi Ade, hidup di atas gerobak
tak bisa selamanya jadi andalan.
Karenanya, ia mulai memberanikan
diri mengambil kontrakan rumah
petakan dibilangan Manggarai. Sejak
mereka melabuh cinta di Depok
sekitar 7 tahun yang lalu, ade sadar,
anak-anak harus tetap mendapatkan
hidup yang lebih baik. Sang istripun
mulai menawarkan jasa cuci baju di
sekitar Manggarai.
“Ya sejak istri juga bantu-bantu nyuci,
lumayan ada pemasukan tambahan
buat keluarga,” jelas Ade kepada
hidayatullah.com di atas trotoar jalan
Matraman, tepat di depan toko pusat
Gramedia.
Bagi Ade, bekerja memulung tidaklah
seperti pegawa negeri sipil (PNS)
yang telah jelas penghasilannya
dalam sebulan. Bekerja di jalanan
tergantung kemauan. Jika mau keluar
untuk bekerja ya mendapat
penghasilan, jika tidak ya siap-siap
saja tak mendapat rezeki.
Menurutnya, jika sedang ramai,
dalam satu hari Ade bisa
mendapatkan Rp. 200.000. Namun
jika sepi barang bekas. Ade mengaku
pernah merasakan selama satu
minggu cuma dapat Rp. 40.000.
Namun dari ketekunan dan kemauan
pasangan Ade dan Erna untuk tetap
ingin memperbaiki kehidupannya,
maka salah satu usahanya tersebut,
mereka berdua telah menyekolahkan
anak sulungnya di sebuah Taman
Kanak-Kanak.
“Hidup saya sudah seperti ini, anak-
anak harus lebih baik dari
orangtuanya kelak,” jelas Ade
mengenang ketika dia harus berhenti
sekolah saat masih di bangku sekolah
dasar karena ketidakmampuan
orangtuanya membiayai.
Bayar Zakat
Di belakang gerobak, terlihat kedua
anaknya sedang pulas tertidur.
Sementara satunya lagi di depan
gerobak bermain-main dengan sang
Ayah. Sedang anak yang terbungsu
berada di pangkuan sang ibu karena
badannya agak panas. Terlihat ada
bisul di punggungnya sebesar
kepalan tangan yang belum sembuh.
Ade mengaku dirinya masih minim
dalam agama. Menurutnya, tak ada
makna istimewa tentang perayaan
Idul Fitri di hati mereka. Sebab
baginya, berpuasa sebulan penuh
saja sudah lebih dari cukup.
Ketika ditanya mengenai baju baru di
hari raya untuk anak-anak, Ade pun
tersenyum.
“Alhamdulillah anak-anak selalu
nurut sama orangtuanya, daripada
membeli baju baru, lebih baik
uangnya saya pakai bayar zakat aja
mas, masih banyak orang yang
hidupnya lebih susah dari saya,”
jelasnya kepada hidayatullah.com .
Dengan penampilannya yang masih
lusuh, Ade dan Erna kemudian
berlalu untuk terus melanjutkan
perjalanan malamnya, berharap ada
barang bekas yang bisa dibawa
pulang.
Hari ini, bertambah lagi pelajaran kita
tentang arti dan makna hidup dari
seorang pemulung. Ia menolak
membatalkan puasa di tengah
kesulitan hidup dan ia yang
seharusnya berhak mendapatkan
zakat, justru memilih berkorban
untuk Muslim lain yang lebih
membutuhkan dengan tetap
membayar zakat.
Ya Rabbi, semoga Engkau terus
menyertainya dan tak ada lagi
nikmatMu yang kami dustakan dalam
hidup kami.*
Sumber dari Hidayatullah.com